Dasar dari konsep ketuhanan ialah adanya sesuatu yang maha gaib. Konsep ketuhanan yang paling awal ialah animisme dan dinamisme. Kedua konsep ini mulai ada sejak zaman manusia purba dan sifatnya sangat sederhana. Segala sesuatu yang sifatnya gaib dikaitkan dengan keberadaan Tuhan. Kemudian, konsep ketuhanan berkembang seiring terbentuknya struktur masyarakat pada manusia. Konsep Tuhan ikut berkembang dengan terbentuknya hierarki ketuhanan. Pada masa ini, terbenuklah politeisme yang meyakini bahwa Tuhan tidak tunggal. Dalam konsep ini, Tuhan memiliki keluarga atau masyarakat seperti pada masyarakat manusia. Dari politeisme berkembang konsep ketuhanan lain, yaitu henoteisme. Dalam henotesime, Tuhan diyakini memiliki struktur pemerintahan dengan pemerintah tertinggi oleh Dewa. Perkembangan selanjutnya dari henoteisme memunculkan monoteisme dengan konsep bahwa Tuhan adalah sesuatu yang esa.
Tidak ada kesepahaman mengenai konsep ketuhanan. Konsep ketuhanan dalam agama samawi meliputi definisi monoteistis tentang Tuhan dalam agama Yahudi, pandangan Kristen tentang Tritunggal, dan konsep Tuhan dalam Islam. Agama-agama dharma juga memiliki pandangan berbeda-beda mengenai Tuhan. Konsep ketuhanan dalam agama Hindu tergantung pada wilayah, sekte, kasta, dan beragam, mulai dari panenteistis, monoteistis, politeistis, bahkan ateistis. Keberadaan sosok ilahi juga diakui oleh Gautama Buddha, terutama Śakra dan Brahma.
Deisme
Deisme (berasal dari bahasa Latin “deus” yang berarti “Tuhan”) adalah kepercayaan filosofis yang menyatakan bahwa Tuhan ada sebagai suatu Sebab Pertama yang tidak bersebab, yang bertanggung jawab atas penciptaan alam semesta, tetapi kemudian tidak ikut campur dengan dunia yang diciptakan-Nya. Secara ekuivalen, deisme juga dapat didefinisikan sebagai pandangan yang menempatkan keberadaan Tuhan sebagai penyebab segala sesuatu, dan mengakui kesempurnaannya akan tetapi menolak wahyu ilahi atau campur tangan langsung Tuhan di alam semesta oleh mukjizat. Pandangan ini juga menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan agama dan menegaskan bahwa dengan akal dan pengamatan terhadap dunia cukup untuk menentukan adanya keberadaan seorang pencipta tunggal atau prinsip absolut dari alam semesta.
Deist biasanya menolak kejadian gaib (kenabian, mukjizat) dan cenderung menegaskan bahwa Tuhan (atau “Arsitek Yang Maha Esa”) memiliki rencana untuk semesta yang tidak terubahkan, baik oleh campur dalam urusan kehidupan manusia atau menangguhkan hukum alam dari semesta. Apa yang agama terorganisir lihat sebagai wahyu ilahi dan buku-buku suci, deists melihatnya sebagai interpretasi yang dibuat oleh manusia lain, bukan berasal dari Tuhan.
Deisme menonjol selama abad ke-17 dan 18 pada Masa Pencerahan, terutama di Inggris, Prancis dan Amerika.
Terminologi
Kata “deisme” berasal dari kata deus dalam bahasa Latin yang diartikan sebagai Tuhan atau dewa. Dari kata ini, konsep keberadaan Tuhan dijelaskan dengan kondisi yang berpisah dari alam semesta dengan jarak yang jauh. Deisme meyakini bahwa Tuhan hanya berperan dalam banyak hal berupa, penciptaan alam semesta dan tidak berperan di dalam pengaturannya. Segala proses yang terjadi di alam semesta dianggap telah ditetapkan sejak awal penciptaan secara tetap dan sempurna. Analogi yang diberikan oleh penganut deisme ialah Tuhan sebagai pembuat jam dengan mekanisme yang hanya ditetapkan pada awal pembuatannya saja. Jam ini kemudian bekerja melalu susunan yang rapi tanpa perlu campur tangan dari pembuatnya lagi.
Sejarah
Deisme adalah sub-kategori theisme, dalam rekomendasi yang baik dalam kepercayaan dewa. Seperti dalam theisme, deisme adalah atas dasar kepercayaan agama yang dapat dibangun. Berbeda dengan theisme, saat ini terdapat tidak didirikan deistic agama, dengan kemungkinan pengecualian Unitarianisme, Universalisme dan Konfusianisme. Konsep deisme meliputi berbagai posisi pada berbagai masalah keagamaan. Deisme dapat juga merujuk ke pribadi set kepercayaan harus dilakukan dengan peran spiritualitas di alam.
Sebaliknya, Deisme dapat menjadi dewa dalam kepercayaan, doktrin pemerintahan atau definisi lain yang bersifat seperti dewa. Deisme dapat mirip dengan naturalisme. Oleh karena itu, sering kali Deisme dianggap memberikan makna untuk pembentukan semesta untuk hidup yang lebih tinggi dengan kerangka rencana yang memungkinkan hanya untuk mengatur proses penciptaan alam.
Teisme
Teisme secara luas didefinisikan sebagai kepercayaan terhadap keberadaan Tuhan atau dewa-dewi. Dalam pengertian awam, atau bila dibandingkan dengan deisme, istilah tersebut mendeskripsikan konsep ketuhanan klasik yang ditemukan dalam monoteisme (yang juga disebut sebagai teisme klasik)—atau dewa-dewi yang ditemukan dalam agama-agama politeistik—suatu kepercayaan terhadap Tuhan maupun dewa-dewi tanpa menafikan keberadaan wahyu sebagaimana yang terdapat dalam deisme.
Sebutan teisme pertama digunakan oleh Ralph Cudworth (1617-1688), dan digunakan sebagai lawan kata ateisme, sebutan yang dicetuskan sekitar tahun 1587.
Jenis Teisme
Teisme dapat terbagi-bagi menjadi beragam pemikiran yang berkaitan dengan cara pendekatan dalam mengenal Tuhan. Beberapa pemikiran mengenai teisme ini dipelopori oleh tokoh-tokoh tertentu. Beberapa diantaranya ialah teisme rasionalisme oleh René Descartes, teisme eksistensialisme oleh Søren Kierkegaard, teisme fenomenologi oleh Peter Koestenbaum, dan teisme empirisme oleh Thomas Reid. Selain itu, teisme juga dapat dibedakan berdasarkan kaitan antara Tuhan dengan alam semesta. Ada yang meyakini bahwa alam bersifat nyata dan ada yang meyakini bahwa alam semesta hanya bagian dari pemikiran dan gagasan. Ada pula yang meyakini bahwa Tuhan menciptakan alam semesta dan selalu mengawasinya, dan ada yang mempercayai bahwa alam semesta terpisah dari Tuhan. Selain itu, terdapat jenis teisme yang didasari oleh jumlah pribadi Tuhan. Dalam jenis ini, teisme terbagi antara Yahudi dan Islam yang meyakini Tuhan itu esa, dan Kekristenan yang meyakini bahwa Tuhan itu tritunggal.
Agnostisisme
Agnostisisme merupakan suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan atau hal-hal supranatural adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Definisi lain yang diberikan adalah pandangan bahwa “alasan yang dimiliki manusia tidak mampu memberikan dasar rasional yang cukup untuk membenarkan keyakinan bahwa Tuhan itu ada atau keyakinan bahwa Tuhan itu tidak ada.”
Seorang ahli biologi Inggris, Thomas Henry Huxley mencetuskan kata agnostic pada tahun 1869 dengan mengatakan, “Secara sederhana ini memiliki makna bahwa seseorang tidak sepatutnya mengatakan kalau dirinya tahu atau percaya pada sesuatu yang mana dirinya tidak memiliki dasar ilmiah untuk mengaku tahu atau percaya.” Beberapa pemikir lebih awal sebelumnya telah menulis karya-karya yang isinya mengangkat cara pandang agnostik, beberapa di antaranya adalah Sanjaya Belatthiputta, seorang filsuf India dari abad ke 5 SM, yang mengungkapkan agnostisisme akan kehidupan setelah mati. dan Protagoras, seorang filsuf Yunani abad 5 SM, yang mengungkapkan agnostisisme terhadap keberadaan “Tuhan-Tuhan.”
Pendefinisian agnostisisme
Definisi agnostisisme menurut Thomas Henry Huxley:
- Agnostisisme adalah esensi dari ilmu pengetahuan, baik kuno maupun modern. Hal ini semata-mata bermakna bahwa seseorang tidak semestinya mengatakan bahwa dia mengetahui atau mempercayai sesuatu yang dia tidak memiliki landasan ilmiah untuk menyatakan bahwa dia mengetahui atau mempercayainya. Oleh karena itu, agnostisisme bukan hanya mengesampingkan bagian terbesar dari teologi populer, tetapi juga bagian terbesar dari anti teologi. Secara keseluruhan, “omong kosong” heterodoksi lebih menjijikkan bagi saya daripada ortodoksi, karena heterodoksi mengaku dibimbing oleh nalar dan ilmu pengetahuan, sedangkan ortodoksi tidak.
- Yang disangkal dan ditolak oleh kaum Agnostik, sebagai tidak bermoral, adalah doktrin yang bertentangan, bahwa ada proposisi-proposisi yang harus dipercayai oleh manusia, tanpa bukti yang memuaskan secara logis; dan penolakan itu harus dilekatkan pada pengakuan ketidakpercayaan pada proposisi-proposisi yang tidak didukung secara memadai tersebut.
- Agnostisisme, pada kenyataannya, bukanlah sebuah keyakinan, tetapi sebuah metode, yang esensinya terletak pada aplikasi yang ketat atas sebuah prinsip tunggal…. Secara positif, prinsip itu dapat diekspresikan sebagai: Dalam masalah intelek, ikuti akal anda sejauh dia akan membawa anda, tanpa mempedulikan berbagai pertimbangan lain. Dan secara negatif: Dalam hal intelek jangan berpura-pura bahwa kesimpulan yang tidak dapat ditunjukkan atau didemonstrasikan adalah pasti.
Sebagai seorang ilmuwan, di atas segalanya, Huxley mempresentasikan agnostisisme sebagai bentuk demarkasi. Sebuah hipotesis tanpa bukti yang mendukung, objektif, dan dapat diuji bukanlah klaim ilmiah yang objektif. Dengan demikian, tidak akan ada cara untuk menguji hipotesis tersebut, sehingga hasilnya tidak konklusif. Agnostisismenya tidak kompatibel dalam membentuk keyakinan tentang kebenaran, atau kepalsuan, dari klaim yang ada. Karl Popper juga menggambarkan dirinya sebagai seorang agnostik. Menurut filsuf William L. Rowe, dalam pengertian yang ketat ini, agnostisisme adalah pandangan bahwa akal manusia tidak mampu memberikan alasan rasional yang cukup untuk membenarkan baik keyakinan bahwa Tuhan itu ada atau keyakinan bahwa Tuhan tidak ada.
George H. Smith, meskipun mengakui bahwa definisi sempit ateis adalah definisi yang umum digunakan untuk kata itu, dan mengakui bahwa definisi luas agnostik adalah definisi yang umum digunakan untuk kata itu, mengusulkan perluasan definisi ateis dan mempersempit definisi agnostik. Smith menolak agnostisisme sebagai alternatif ketiga dari teisme dan ateisme dan mengajukan istilah-istilah seperti ateisme agnostik (pandangan mereka yang tidak memiliki keyakinan akan keberadaan Tuhan apa pun, tetapi mengklaim bahwa keberadaan Tuhan tidak diketahui atau tidak dapat diketahui secara inheren) dan teisme agnostik (pandangan mereka yang percaya pada keberadaan Tuhan(-Tuhan), tetapi mengklaim bahwa keberadaan Tuhan tidak diketahui atau tidak dapat diketahui secara inheren).
Etimologi
Agnostic (dari bahasa Yunani Kuno ἀ- (a-), berarti “tanpa”, dan γνῶσις (gnōsis), berarti “pengetahuan”) digunakan oleh Thomas Henry Huxley dalam pidatonya pada pertemuan Metaphysical Society pada tahun 1869 untuk menggambarkan filosofinya, yang menolak semua klaim pengetahuan spiritual atau mistis.
Para pemimpin gereja Kristen awal menggunakan kata dari bahasa Yunani, gnosis (pengetahuan) untuk menggambarkan “pengetahuan spiritual”. Agnostisisme tidaklah sama dengan pandangan keagamaan yang secara khusus menentang gerakan keagamaan kuno Gnostisisme; Huxley menggunakan istilah ini dalam artian yang lebih luas dan lebih abstrak. Huxley mengidentifikasikan agnostisisme bukan sebagai keyakinan melainkan sebagai metode penyelidikan skeptis dan berbasis bukti.
Istilah Agnostik juga serumpun dengan kata Sansekerta Ajñasi yang diterjemahkan secara harfiah menjadi “tidak dapat diketahui”, dan berhubungan dengan aliran filosofi India kuno Ajñana, yang mengusulkan bahwa tidak mungkin untuk memperoleh pengetahuan tentang hakikat metafisik atau memastikan nilai kebenaran proposisi filosofi; dan bahkan jika pengetahuan akan hal itu memungkinkan, tetap saja tidak berguna dan tidak bermanfaat untuk keselamatan akhir.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, literatur ilmiah yang berurusan dengan ilmu saraf dan psikologi telah menggunakan kata ini untuk mengartikan “tidak dapat diketahui”. Dalam literatur teknis dan pemasaran, “agnostik” juga bisa berarti kebebasan dari beberapa parameter-misalnya, “platform agnostik” (mengacu ke perangkat lunak lintas platform) atau “hardware-agnostik”.
Kualifikasi agnostisisme
Filsuf Pencerahan Skotlandia, David Hume, berpendapat bahwa pernyataan maknawi tentang alam semesta selalu dapat diragukan dengan tingkat tertentu. Dia menegaskan bahwa kecendrungan manusia membuat kekeliruan menyebabkan mereka tidak dapat memperoleh kepastian mutlak kecuali dalam kasus-kasus sepele di mana pernyataan itu benar menurut definisi (misalnya tautologi seperti “semua bujangan tidak menikah” atau “semua segitiga memiliki tiga sudut”).
Agnostisisme kuat
Agnostisisme kuat disebut juga dengan istilah “keras”, “tertutup”, “ketat”, atau “agnostisisme permanen”.
Pandangan bahwa pertanyaan tentang ada atau tidak adanya Tuhan atau dewa-dewi, dan sifat realitas tertinggi tidak dapat diketahui dengan alasan ketidakmampuan alamiah kita untuk memverifikasi pengalaman apa pun dengan apa pun kecuali pengalaman subjektif lainnya. Seorang agnostik yang kuat akan berkata, “Saya tidak dapat mengetahui apakah tuhan itu ada atau tidak, dan anda pun demikian.”
Agnostisisme lemah
Agnostisisme lemah juga disebut “lunak”, “terbuka”, “empiris”, atau “agnostisisme temporal”.
Pandangan bahwa keberadaan atau ketiadaan dewa-dewi apa pun saat ini tidak diketahui tetapi tidak sepenuhnya tidak dapat diketahui; oleh karena itu, seseorang akan menahan diri untuk memberi penilaian sampai bukti, jika ada, tersedia. Seorang agnostik lemah akan berkata, “Saya tidak tahu apakah tuhan itu ada atau tidak, tetapi mungkin suatu hari nanti, jika ada bukti, kita dapat mengetahuinya.”
Agnostisisme apatis
Pandangan bahwa dengan perdebatan sebanyak apapun tetap tidak dapat membuktikan atau membantah keberadaan satu atau lebih Tuhan. Dan jika satu atau lebih Tuhan itu ada, mereka sepertinya tidak peduli dengan keadaan manusia. Oleh karena itu, keberadaan Tuhan memiliki sedikit atau bahkan tidak ada dampak pada persoalan pribadi manusia dan hendaknya tidak begitu dipedulikan. Seorang agnostik yang apatis akan berkata, “Saya tidak tahu apakah Tuhan itu ada atau tidak, dan saya tidak peduli apakah Tuhan itu ada atau tidak.”
Panteisme
Panteisme adalah keyakinan bahwa alam semesta merupakan manifestasi dari tuhan, atau bahwa segala sesuatu merupakan tuhan, dewa atau dewi imanen yang mencakup segalanya. Keyakinan panteisme tidak mengakui adanya tuhan pribadi secara spesifik, baik antropomorfik atau tidak. Akan tetapi, panteisme bercirikan berbagai doktrin dalam bentuk hubungan antara realitas dengan keilahian. Konsep panteistik telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, dan elemen panteistik telah dikenali dalam berbagai tradisi keagamaan. Istilah panteisme diciptakan oleh matematikawan Joseph Raphson pada tahun 1697, dan sejak saat itu telah digunakan untuk mendeskripsikan kepercayaan dari berbagai orang dan organisasi.
Panteisme dipopulerkan dalam budaya Barat sebagai pandangan teologi dan filsafat berdasarkan buku karya filsuf abad ke-17 Baruch Spinoza, “Etika”. Sikap panteistik juga dimiliki oleh filsuf dan kosmolog Giordano Bruno pada abad ke-16. Ide-ide panteisme terdapat dalam agama-agama Asia Selatan dan Asia Timur (terutama Sikhisme, Hinduisme, Sanamahisme, Konfusianisme, dan Taoisme) dan dalam Tasawuf (Sufisme) dalam Islam.
Etimologi
Istilah panteisme berasal dari kata dalam bahasa Yunani pan (berarti “semua, segala sesuatu”) dan theos (berarti “dewa, ilahi”). Kombinasi pertama yang diketahui dari penjelasan etimologis ini muncul dalam bahasa Latin, dalam buku Joseph Raphson tahun 1697, “De Spatio Reali seu Ente Infinito”. Di dalam buku itu, ia merujuk pada pandangan “pantheismus” dari Spinoza dan pemikir lainnya.
Definisi Panteisme
Terdapat banyak definisi tentang panteisme. Beberapa sarjana menganggapnya sebagai posisi teologis dan filosofis tentang Tuhan.
Panteisme adalah pandangan bahwa segala sesuatu adalah bagian dari Tuhan yang immanen dan yang mencakup segalanya. Semua bentuk realitas kemudian dapat dianggap sebagai bagian dari Wujud itu, atau identik denganNya. Beberapa berpendapat bahwa panteisme adalah posisi filosofis non-religius. Bagi mereka, panteisme adalah pandangan bahwa Semesta (dalam arti totalitas dari semua keberadaan) dan Tuhan adalah hal yang sama.
Sumber: Deisme