Pandangan Newton, Darwin dan Einstein tentang Keberadaan Tuhan

Isaac Newton, Charles Darwin, dan Albert Einstein adalah beberapa ilmuwan yang paling berpengaruh dalam perkembangan ilmu pengetahuan dunia modern. Selain kejeniusannya yang sudah dikenal secara universal, para pemikir penting ini juga sengaja kita pilih karena masing-masing dari mereka memiliki pandangan berbeda tentang hubungan antara sains dan keyakinan.

Dunia memang penuh dengan misteri, banyak hal-hal unik dan aneh yang masih sulit dijelaskan secara logika. Sebagai orang yang beriman, tentu kita sangat meyakini bahwa segala hal yang terjadi di dunia merupakan sudah atas kehendak-Nya.

Beberapa orang menganggap para ilmuan jenius ini adalah atheis atau tidak percaya dengan Tuhan. Benarkah demikian, bagaimana para ilmuwan kesohor ini menjelaskan pandangan mereka tentang keberadaan Tuhan? Inilah yang sesugguhnya:

Isaac Newton (1642–1726)

Prestasi Newton bisa dibilang tak tertandingi dalam dunia sains. Dia dianggap oleh banyak orang sebagai ilmuwan terhebat sepanjang masa. Kontribusinya sangat banyak.

Buku Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica karya Newton

Buku yang berjudu Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica (1687) karyanya yang memperkenalkan hukum gerak dan gravitasi universal, telah memungkinkan para fisikawan lain untuk menghubungkan sejumlah fenomena yang sampai sekarang tidak berhubungan seperti jalur orbit planet dan komet, perilaku pasang surut, dan gerakan benda di atas bumi. Karya ini merupakan pedoman dasar bagi mekanika klasik, yang menjadi paradigma dominan dalam ilmu fisika selama tiga abad berikutnya.

Newton juga membuat terobosan baru dalam pemahaman modern tentang cahaya dan optik, termasuk pengembangan teleskop pemantul. Kontribusinya terhadap matematika berkisar dari kalkulus hingga generalisasi teorema binomial.

Sisi lain yang mungkin tidak banyak orang ketahui adalah, Newton telah menghabiskan masa hidupnya dengan menghasilkan sejumlah besar tulisan, pada mata pelajaran beragam seperti alkimia, ramalan, teologi, kronologi alkitabiah, sejarah awal mula gereja, dan banyak lagi. Memang, bisa dikatakan karyanya pada subjek-subjek ini secara kuantitatif jauh melebihi kontribusi ilmiahnya. Namun, Newton dengan tegas membantah ada ketidakcocokan antara karyanya dalam ilmu fisika dan penelitiannya tentang mata pelajaran ini.

Seorang Kristen yang tidak taat

Newton semula sangat religius: seorang teis sejati, sama seperti pendukung revolusi ilmiah lainnya: Galileo, Kepler, dan Bacon. Newton masih mempertahankan kesetiaannya kepada gereja Anglikan, namun menolak salah satu prinsip dasarnya, yaitu Tritunggal Mahakudus.

Dia percaya bahwa Yesus, meskipun Anak Allah, bukan berarti dirinya juga disebut ilahi (setara Tuhan), melainkan hanya menganggapnya sebagai seorang nabi. Tulisan teologis yang baru-baru ini dibuka mengungkapkan minat mendalam Newton pada Alkitab, terutama kronologi dan nubuatnya.

Tuhan yang Berperan di Alam Semesta

Dalam sebuah catatan penjelasan penting dalam Principia-nya, Newton menguraikan pandangannya tentang peran Tuhan dalam penciptaan, yang sangat berbeda dari para filsuf-ilmuwan penting lainnya pada zaman itu, seperti Descartes, dan Leibniz (yang secara independen ikut menemukan kalkulus).

Orang-orang terpelajar ini adalah deisme, karena mereka membatasi peran Tuhan pada pembentukan alam semesta mekanis. Setelah diciptakan, alam semesta tidak memerlukan intervensi lebih lanjut dari Tuhan, dan dapat dipahami sepenuhnya dalam hal prinsip-prinsip mekanik yang berasal dari pengamatan fenomena fisik.

Sebaliknya, Tuhan menurut Newton tetap aktif terlibat dalam alam semesta yang Dia ciptakan. Tanpa keterlibatan iIahi yang berkelanjutan, alam semesta pada akhirnya akan runtuh; misalnya, orbit planet harus secara terus menerus dipelihara secara ilahi.

Tuhan intervensionis semacam ini dikritik oleh Descartes, Leibniz, dan yang lainnya dengan alasan bahwa seolah-olah Tuhan menggambarkan alam semesta yang dibangun dengan buruk menuntut agar peran Tuhan terus menerus dikotak-kotakkan: dan Tuhan yang mahatahu dan berkuasa apa yang harus melakukan hal seperti itu?.

Newton percaya bahwa di balik tabir dunia fisik hiduplah suatu kecerdasan ilahi, tak terbatas yang terus-menerus mendukung dan mempertahankannya. Tuhan yang merancang alam semesta dan kehidupan yang dihadapinya jauh lebih unggul daripada kemampuan manusia untuk memahami-Nya.

Newton melihat dirinya ‘seperti bocah lelaki yang bermain-main di pantai, saat mengasyikkan diri sendiri tiba-tiba menemukan kerikil yang bentuknya lebih halus atau cangkang lebih cantik dari biasanya, sementara masih ada samudera kebenaran yang agung terbentang luas di hadapan kita’. Jenis kerendahan hati intelektual sejati ini sering ditemukan di antara para ilmuwan terhebat.

Charles Darwin (1809–1882)

Jika Newton adalah seorang teis, dan Einstein lebih semacam panteis, Darwin memiliki pandangan yang berbeda semasa hidupnya, meski pada tahun-tahun terakhirnya ia menganut agnostisisme.

Salam karyanya yang berjudul Darwin On the origin of species (1859), ia menguraikan teori evolusi kehidupan melalui seleksi alam yang menyatakan bahwa semua bentuk kehidupan terkait dan diturunkan dari nenek moyang yang sama. Bentuk kehidupan yang kompleks berasal dari yang lebih sederhana secara bertahap, perlahan, dan melalui proses yang murni alami.

Ciri-ciri baru secara terus-menerus muncul dalam organisme yang kita (bukan Darwin) sekarang anggap sebagai mutasi genetik acak. Ciri-ciri bawaan yang memiliki nilai adaptif karena meningkatnya peluang organisme untuk bertahan hidup dan mencapai usia reproduksi cenderung dipertahankan dan diteruskan ke generasi berikutnya, sebuah proses yang disebut sebagai ‘seleksi alam’.

Seiring waktu, akumulasi yang stabil dari mutasi adaptif ini memunculkan spesies baru. Manusia tidak terkecuali, dan dalam bukunya The Descent of Man (1871), Darwin berusaha membuktikan bahwa manusia berasal dari kera bertubuh besar.

Teori Darwin menimbulkan perdebatan yang panas di kalangan ilmuwan pada waktu itu. Menentang para pemikir dan ilmuwan untuk percaya pada penciptaan yang diciptakan Tuhan. Pertentangan tersebut sampai saat ini antara kreasionis dan evolusionis menunjukkan bahwa masalah ini masih terus kontroversial sampai sekarang.

Seorang Pria Muda yang Beriman

Namun bagaimana pendapat Darwin sendiri tentang agama? Sumber terbaik dalam hal ini adalah Autobiografinya 1809-1882 (dalam Barlow, 1958) – yang dimaksudkan hanya dapat dibaca oleh keluarganya, disusun antara tahun 1876 dan 1881, menjelang akhir hidupnya. Mungkin bermanfaat untuk dicatat di sini bahwa pendidikan awal Darwin, termasuk tahun-tahunnya di Cambridge, berjalan di sepanjang garis agama, dan ia sendiri sebenarnya sedang bersiap untuk menjadi seorang pendeta Anglikan.

Dalam penggambaran dirinya, Darwin muda menunjukkan iman yang kuat dalam agama Kristen dan menganggap Alkitab sebagai firman Tuhan. Dia menulis dalam Autobiografi bahwa ketika berlayar di Beagle, dia mengatakan ‘sangat ortodoks dan masih ingat ketika ditertawakan oleh beberapa petugas … lantaran mengutip Alkitab sebagai otoritas yang tidak dapat dijawab’.

Dia mulai berlayar pada tanggal 27 Desember 1831 sebagai seorang naturalis dengan melakukan perjalanan yang rencana awalnya selama dua tahun ke bagian-bagian dunia jauh, namun akhirnya berlangsung hingga lima tahun. Penemuan yang dihasilkan dari perjalanan itu memberikan banyak dasar empiris untuk teorinya tentang evolusi.

Dari Deisme ke Teisme

Pada tahun-tahun berikutnya, keraguan mulai menumpuk di benaknya. Dia kemudian menganggap sejarah Perjanjian Lama tentang dunia jelas-jelas sangat salah. Semakin dia memahami dunia alamiah dan hukum-hukumnya, semakin ajaib pula mukjizat Alkitab. Dia menyadari bahwa Injil tidak terbukti sezaman dengan peristiwa-peristiwa yang mereka gambarkan, dan karenanya patut dipertanyakan.

Akhirnya dia menurun kepercayaan menjadi tidak percaya dengan agama Kristen sebagai wahyu ilahi’. Lambat laun keyakinannya tentang agama mulai runtuh dan hilang sepenuhnya. Penting untuk dicatat bahwa keberatannya yang paling tegas terhadap Kekristenan terutama adalah tentang tatanan etis. Ia menemukan secara khusus bahwa gagasan mengenai orang-orang yang tidak beriman harus dihukum secara abadi sebagai ‘doktrin yang terkutuk.’

Meskipun sangat tidak puas dengan agama Kristen, dia lantas juga tidak percaya dengan Tuhan begitu saja. Pada saat dia menulis bukunya Origin, dia memberitahu menemukan alasan lain untuk percaya pada keberadaan Tuhan. Secara khusus, dia berpikir hampir mustahil untuk menganggap alam semesta fisik, kehidupan, dan kesadaran manusia sebagai hasil dari kebetulan murni. Karena itu, ia masih merasa pantas untuk dianggap sebagai seorang teis.

Seorang Agnostis Tua

Pada saat penulisan Autobiografi, Darwin yang telah menua benar-benar kehilangan kepercayaan pada kemampuan manusia untuk memecahkan masalah-masalah ini. Dalam biografinya, ia mengatakan “Bisakah pikiran manusia,” tanyanya, “dengan akarnya yang dalam pada kemampuan kognitif kasar hewan-hewan terendah, mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan pamungkas, seperti pertanyaan tentang keberadaan Tuhan?” Jawaban terakhirnya adalah negatif: “Misteri awal segala sesuatu tidak dapat kita pecahkan, dan saya harus puas untuk tetap menjadi seorang agnostik”. Akhirnya dia pun teguh menjadi seorang agnostis (Percaya adanya Tuhan, tapi tidak percaya dengan agama).

Albert Einstein (1879–1955)

Ilmuwan kelahiran Jerman sejajar dengan Newton karena pentingnya kontribusinya terhadap ilmu fisik waktu-nya dan waktu kita. Karena Einstein bukan hanya penulis teori relativitas khusus (1905) dan umum (1915); ia juga secara meyakinkan berkontribusi pada pengembangan mekanika kuantum. Teori-teori ini sebagian besar merupakan inti dari fisika modern.

Einstein bukan sebagai penulis yang produktif seperti Newton tetapi secara terbuka terlibat dalam beberapa masalah etika, politik, dan intelektual paling sulit pada masanya. Seorang pasifis, ia memasukkan namanya di antara para penandatangan surat kepada presiden Roosevelt, mendesaknya untuk mendukung upaya penelitian besar-besaran yang akan menghasilkan “bom sangat kuat dari jenis baru.” Gengsi Einstein yang besar berperan penting dalam memengaruhi keputusan Roosevelt untuk meluncurkan proyek Manhattan, yang kemudian mengarah ke bom atom.

Lebih penting lagi di sini, Einstein tidak menolak untuk menganut pandangannya tentang Tuhan dan sifat tertinggi dari realitas. Meski, seorang penulis naskah terkenal menggambarkannya sebagai ‘teolog terselubung.’ Namun, tidak mudah untuk mencapai kejelasan lengkap tentang kepercayaan Einstein pada subjek ini.

Seorang Pantheis, apa itu?

Tidak seperti Newton, Einstein bukan seorang teis, karena istilah ini biasanya dipahami merujuk pada pencipta dan penguasa alam semesta yang dapat dan memang campur tangan dalam urusan manusia.

Einstein tidak pernah menerima pandangan tentang Tuhan yang diberkahi dengan sifat-sifat seperti manusia, yang ikut campur dalam sejarah manusia dan membagikan pahala (hadiah) dan hukuman kepada rakyatnya berdasarkan kesetiaan mereka kepada-Nya. Di luar ini, lebih sulit untuk menetapkan dengan jelas apa yang sebenarnya diyakini Einstein, dan apa yang ia maksudkan ketika menggunakan kata ‘Tuhan.’

Pandangannya dibentuk oleh pemahamannya tentang realitas fisik. Dia sangat yakin bahwa setiap ilmuwan sejati cepat atau lambat akan memahami bahwa hukum yang mengatur alam semesta bermunculan dari roh yang jauh lebih unggul daripada manusia.

Meskipun kadang-kadang ia mencatat bahwa label panteisme tidak sepenuhnya berlaku untuk pandangannya, ia merasa idenya tidak jauh-jauh dengan panteis, filsuf Belanda Baruch Spinoza (1632-1677).

Pantheisme secara umum mengidentifikasi Tuhan dengan alam semesta, atau melihat alam semesta sebagai manifestasi Tuhan. Einstein mengakui bahwa pemahamannya sendiri tentang Tuhan berakar pada keyakinannya akan kecerdasan tertinggi yang menopang alam semesta.

Dalam pengertian yang terbatas itu, dia merasa istilah ‘panteistik’ tidak terlalu salah menggambarkan posisinya. Dalam suatu momen, dia mengklaim bahwa yang dia inginkan tidak lain adalah ‘mengetahui bagaimana tuhan menciptakan dunia ini … Saya ingin tahu pikirannya’. (Calaprice, 2000).

Keyakinan Einstein pada kecerdasan impersonal yang tertanam dalam kosmos ditentukan oleh apa yang tampak baginya sebagai rasionalitas mendalam dari alam semesta, yang ia anggap diperintah oleh seperangkat hukum sederhana, elegan, dan deterministik ketat. Karena itu, Einstein tidak percaya pada kehendak bebas.

Ironisnya, mekanika kuantum, yang ia sumbangkan secara fundamental, semakin memperjelas bahwa alam semesta jauh lebih tidak deterministik daripada yang dipikirkan Einstein. Sebagaimana dipahami saat ini, konstituen subatomik materi menunjukkan perilaku yang sampai batas tertentu tidak dapat diprediksi dan ‘bebas’. Bagi Einstein, ini menunjuk pada Tuhan yang ‘bermain dadu dengan dunia,’ sebuah perspektif yang menurutnya sulit diterima. Dalam hal ini, pandangan Einstein berbeda dengan, dan memang dibantah oleh, sebagian besar fisika kontemporer.

Sumber: Keberadaan Tuhan

Leave a Comment