Pada hari-hari riuh di tengah pandemi virus Corona yang berasal dari Wuhan ini, ada yang jadi viral di media sosial. Tulisan itu berasal dari seseorang yang kurang lebihnya mengatakan adanya virus Corona menjadi bukti Tuhan tidak ada. Sebab, kalau pun ada Dia terbukti tak menyayangi manusia. Seharusnya kalau Tuhan ada maka virus itu tak ada.
Bukan hanya itu saja, sang penulis yang menjadi viral di medsos juga mengatakan bukti Tuhan tak ada bercermin pada binatang yang menurutnya tak kenal Tuhan. Alhasil, persis sama dalam teori histori materialisme ala Karl Mark, Tuhan hanya merupakan ekpresi ketakutan manusia karena hidup di dunia itu harus menjumpai hal-hal yang besar di luar kemampuannya. Katanya, Tuhan baru muncul ketika manusia mulai hidup dalam fase awal di luar gua, yakni harus berburu dan meramu.
Menurut dia, maka kalau pun Tuhan pun ada, yang membuatnya itu tangan atau pikiran manusia. Dalam kata lebih sederhana, Tuhan itu sebatas ekspresi dasar seperti sosok seorang ayah dari seorang anak yang ditinggalkan pergi bapaknya. Makanya kehadiran ayahnya sangat dibutuhkan atau sangat diharap selalu hadir untuk membebaskan dirinya dari ketakutan ganasnya tantangan alam. Di situlah Tuhan menjadi ada dan dibutuhkan sebagai sarana pembebasan rasa ketakutan sekaligus pemberi perlindungan manusia.
Dan bagi anda yang gemar filsafat atau ilmu fisika modern pasti pernah mengenal hal yang sejenis. Sikap yang sama pun menghinggapi mendiang ilmuan penemu teori Bing Bang, Stephen Hawking dari Inggris. Bagi dunia modern saat ini nama Hawking sudah disejajarkan dengan bapak Ilmu Fisikia modern seperti Albert Einstein.
Hawking dalam buku yang ditulisnya beberapa tahun sebelum meninggal, menganggap Tuhan itu memang sebagai ‘prima causa’ alam semesta. Tapi peran dia dalam menciptakan alam semesta hanya sekali saja pada babak pertama saat alam semesta dia buat. Setelah itu, Tuhan kemudian tak berbuat apa-apa. Alam kemudian berevolusi sebagaimana kodratnya atau mengikuti hukum alam.
Bagi Hawking semua hal rasional. Bahkan terjadinya bencana sekalipun, itu juga sebagai konsekuensi hukum alam biasa. Tuhan hanya sekali berbuat di awal, setelah itu ‘menganggur’ dan membiarkan alam menjadi dirinya sendiri. Sikap ini tercermin ketika Hawking bertemu Paus Johens Paulus II di Vatikan. Kala itu Paus sempat meminta jangan terlalu rasional memikirkan penciptaan alam semesta. Dan ditegur seerti itu Hawking yang sudah duduk di kursi roda menjawab: Justru dirinya baru memulai berpikir soal penciptaan alam semesta.
Dan sama dengan semangat soal keberadaan Tuhan yang kini viral di media sosial, Hawking juga menganggap secara sangat rasional sebagai ekspresi ketakutan manusia di depan alam semesta belaka. Dia mencontohkan dengan hadirnya sosok Tuhan yang hadir dalam budaya manusia.
Memang dalam salah satu buku yang ditulisnya Hawking mengkaitkannya dengan kepercayaan sebagian suku atau orang di dunia yang sempat menganggap matahari dan bulan sebagai Tuhan pencipta alam semesta. Tapi ini kemudian mereka tak percaya lagi sebab ternyata bulan dan matahari mengalamai gerhana. Mereka menganggapnya kedua benda langit itu bukan Tuhan karena punya masalah.
Dan kisah ini, terbukti dalam khazanah umat manusia – cerita rakyat di Afrika dan Asia – yang dahulu selalu menganggap semesta akan terkena bencana karena ada gerhana bulan atau matahari. Soal ini ada dalam mitologi mereka tentang kepala raksasa yang tengah memakan dua benda itu. Maka manusia yang ada di bumi harus membuat keriuhan dengan menabuh dan ramai-ramai berteriak supaya kepala raksasa yang terbang ke langit itu melepaskan gigitannya. Di Jawa misalnya ada tradisi menabuh lesung kala terjadi gerhana bulan dan matahari.
Tapi berbeda dengan si penulis di media sosial atau Stephen Hawking, salah satu bapak Fisika moderen keturunan Yahudi Jerman, Albert Einstein mengatakan sebaliknya. Ketika dia desak mengenai tujuan Tuhan mencipta dan selalu ikut memelihara segala hal yang terjadi di alam semesta, Einstein hanya menjawab kalem: Yang pasti Tuhan tidak sedang bermain dadu.
Terkait kisah ini ada tulisan yang asyik dari Jimm Baggot. Dia adalah penulis sains populer yang memenangkan berbagai penghargaan dan lebih dari 25 tahun menulis tentang topik dalam sains, filsafat dan sejarah, di Inggris. Kisahnya begini terkait soal kisah Einstein dan pernnyataannya bahwa Tuhan tidak sedang bermain dadu ketika menciptakan alam semesta: Artikelnya berjudul: ‘What Einstein meant by God does not play dice’ (Apa yang dimaksud Einstein dengan Tuhan tidak bermain dadu?)
Tulisan lengkapnya begini:
“Teori ini (Tuhan tidak sedang Bermain Dadu) menghasilkan banyak hal tetapi hampir tidak membawa kita lebih dekat ke rahasia Yang Lama,” tulis Albert Einstein pada bulan Desember 1926. “Saya memang pada semua peristiwa yakin bahwa Dia (Tuhan) tidak bermain dadu”.
Kalimat Einstein ini keluar ketika dia menanggapi surat dari fisikawan Jerman Max Born. Ini karena, layaknya jantung, teori baru mekanika kuantum, menurut Born, berdetak secara acak dan tidak pasti, seolah-olah menderita aritmia. Sedangkan fisika sebelum kuantum selalu tentang melakukan ini dan mendapatkan itu, mekanika kuantum baru tampak mengatakan bahwa ketika kita melakukan ini, kita mendapatkannya hanya dengan probabilitas tertentu. Dan dalam beberapa keadaan, lanjut Born, kita mungkin mendapatkan yang lain.
Einstein sama sekali tidak menanggapi atau menjawab desakan Born ketika bertanya dasar pemikiran bahwa Tuhan tidak bermain dadu dengan semesta. Teori ini dibiarkan terus bergema selama beberapa dekade. Bahkan meski dianggap sebutan akrab dalam dunia kosmologi, namun pernyataan Einstein sama sulitnya artinya dengan teori: E = mc².
Namun untuk memahami sikap Einstein itu, semua perlu tahu bila kedua orang tuanya, yakni Hermann dan Pauline Einstein adalah orang Yahudi Ashkenazi yang tidak patuh. Terlepas dari sekularisme orang tuanya, Albert yang berusia sembilan tahun menemukan dan memeluk Yudaisme dengan penuh semangat, dan untuk sementara waktu ia adalah seorang Yahudi yang patuh dan patuh.
Maka, mengikuti kebiasaan Yahudi, orang tuanya selalu akan mengundang sarjana miskin untuk berbagi makanan dengan mereka setiap minggu. Dan dari mahasiswa kedokteran miskin bernama Max Talmud (kemudian Talmey), Einstein muda kala itu menjadi tertarik belajar tentang matematika dan sains secara mudah.
Einstein misalnya, mengkonsumsi semua atau 21 volume Buku Populer yang Menyenangkan tentang Ilmu Pengetahuan Alam karya Aaron Bernstein yang terbit pada tahun 1880. Talmud kemudian mengarahkannya ke arah buku Critique of Pure Reason Immanuel Kant (1781). Dari sana kemudian ia bermigrasi ke buku filosofinya David Hume. Dari Hume, itu bagi Einstein terjejak sebagai langkah awal yang relatif singkat untuk masuk ke pemikiran fisikawan Austria Ernst Mach, yang filosofi empiris, penglihatan-melihat-percaya menuntut penolakan penuh terhadap metafisika, termasuk gagasan tentang ruang dan waktu absolut, dan keberadaan atom.
Tetapi perjalanan intelektual ini tanpa ampun telah mengungkap konflik antara sains dan tulisan suci. Einstein kala itu baru berusia 12 tahun memberontak. Dia mengembangkan keengganan yang mendalam terhadap dogma agama yang terorganisir – di mana ini akan bertahan seumur hidupnya, keengganan Einstein juga meluas ke semua bentuk otoritarianisme, termasuk segala jenis ateisme dogmatis.